PgriBeltim.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Beberapa waktu lalu, suasana penuh kehangatan menyelimuti pertemuan tiga tokoh akademis terkemuka di Indonesia. Prof. Dr. Ir. Gimbal Doloksaribu, Ketua Umum Persatuan Guru Besar Indonesia (PERGUBI), Prof. Hoga Saragih, dan Prof. Dr. Rudy Harjanto dari LSPR Institut Komunikasi dan Bisnis, duduk berdampingan, bukan sekadar sebagai ilmuwan, tetapi sebagai pemimpin yang berkomitmen pada masa depan bangsa melalui ilmu pengetahuan.
Pertemuan ini bukan sekadar diskusi biasa. Dalam suasana yang akrab, mereka membahas isu global yang semakin mendesak: perubahan iklim dan peran Indonesia dalam menghadapinya.
“Perubahan iklim bukan hanya angka atau grafik yang bisa diabaikan. Ini adalah soal kehidupan—pangan, air, kesehatan, dan bahkan masa depan anak cucu kita,” tegas Prof. Rudy Harjanto, yang mengingatkan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati dan budaya yang luar biasa, kini berada di garis depan ancaman perubahan iklim.
Indonesia di Garis Depan Krisis Iklim Global
Gelombang panas yang semakin intens, kenaikan permukaan laut yang mengancam pesisir, serta kekeringan dan bencana ekologis yang terjadi lebih sering, sudah tidak lagi menjadi prediksi untuk masa depan. Mereka sudah hadir, mengubah cara hidup masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Dalam konteks ini, para guru besar menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan riset ilmiah harus bergerak lebih jauh dari sekadar teori—ia harus menjadi kekuatan yang aktif untuk menghadapi krisis ini.
“Keilmuan harus hadir di garis depan perubahan. Tanpa sains, aksi iklim akan sekadar menjadi slogan kosong,” tegas Prof. Hoga Saragih.
Sebuah seruan yang menegaskan bahwa tanpa dukungan ilmiah yang solid, Indonesia tak akan mampu menjalankan langkah-langkah efektif untuk merespons krisis iklim.
Satgas Lingkungan Berkelanjutan : Gerakan Ilmiah Nasional
Sebagai langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, mereka sepakat untuk membentuk Satgas Lingkungan Berkelanjutan di bawah naungan PERGUBI.
Satgas ini tidak hanya sekadar struktur organisasi tambahan, melainkan sebuah gerakan ilmiah yang berlandaskan pada sains, nilai kemanusiaan, dan tanggung jawab moral terhadap bumi.
“Gerakan ilmiah ini akan menjadi motor penggerak utama perubahan,” ujar Prof. Gimbal Doloksaribu.
Dengan pembentukan Satgas Lingkungan Berkelanjutan, para guru besar ingin mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, memfokuskan penelitian strategis, dan memberikan kontribusi nyata pada pengabdian masyarakat.
Satgas ini akan berperan sebagai ruang koordinasi dan advokasi ilmiah untuk mendukung Indonesia dalam menjalankan komitmennya terhadap Paris Agreement serta Sustainable Development Goals (SDG) 13 tentang Aksi Iklim.
Indonesia, sebagai negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, diharapkan bukan hanya menjadi negara yang terdampak, tetapi juga pemimpin dalam aksi iklim global.
Keilmuan Melintasi Batas : Dari Sains hingga Budaya
Bagi ketiga guru besar ini, pentingnya interdisipliner dalam menghadapi perubahan iklim tak bisa diabaikan. Isu perubahan iklim bukan hanya urusan ahli lingkungan.
Isu ini menyentuh berbagai bidang, dari teknologi, hukum, ekonomi, hingga sosial dan budaya. Prof. Gimbal, misalnya, menyoroti betapa pentingnya peran budaya dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Perubahan iklim juga mengancam warisan sosial-budaya kita. Dari sistem pangan tradisional hingga kearifan lokal, kita tak hanya berbicara soal bertahan hidup, tapi menjaga jati diri bangsa,” ungkapnya.
Menurutnya, penting untuk menjaga nilai-nilai budaya lokal yang menjadi pondasi bagi ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam dan krisis iklim.
Membangun Jejaring Kolaboratif untuk Aksi Bersama
Salah satu pilar utama dari Satgas Lingkungan Berkelanjutan adalah memperkuat jejaring antara berbagai pihak : kampus, pemerintah, masyarakat sipil, dan dunia usaha.
Prof. Rudy Harjanto menekankan bahwa kolaborasi antara sektor-sektor ini akan mempercepat dan memperkuat implementasi kebijakan serta tindakan terkait perubahan iklim.
Lebih jauh lagi, Satgas Lingkungan Berkelanjutan juga akan berfokus pada penguatan diplomasi sains Indonesia di tingkat global.
Dengan menjalin kemitraan strategis dengan badan-badan internasional seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), United Nations Environment Programme (UNEP), dan UNESCO, Indonesia diharapkan dapat menjadi negara yang tidak hanya mengelola dampak perubahan iklim, tetapi juga berperan aktif dalam penciptaan solusi global.
Salah satu langkah awal yang disepakati dalam pembentukan Satgas adalah penyusunan Rencana Aksi Kerja Lima Tahun (Satgas Climate & Sustainability Roadmap), yang akan menjadi panduan strategis dalam menjalankan program-program keberlanjutan di Indonesia.
Satgas ini juga akan mendirikan Climate Knowledge Hub, pusat pengetahuan dan literasi publik terkait perubahan iklim yang diharapkan dapat menjadi referensi ilmiah baik di tingkat nasional maupun global.
Aksi Iklim : Kewajiban Ilmiah dan Moral
Pada akhir pertemuan, ketiga guru besar ini menegaskan bahwa perjuangan melawan perubahan iklim adalah bagian dari amanah ilmu pengetahuan.
“Aksi terhadap perubahan iklim bukan hanya pilihan, melainkan keharusan ilmiah dan moral bagi bangsa Indonesia,” ujar Prof. Rudy, menutup pertemuan dengan semangat kolektif yang kuat.
Aksi ini bukan sekadar reaksi terhadap krisis yang sudah hadir, tetapi juga bagian dari tanggung jawab besar terhadap generasi mendatang.
Dengan didirikannya Satgas Lingkungan Berkelanjutan, Indonesia telah memulai sebuah gerakan ilmiah yang diharapkan bisa menginspirasi negara-negara lain untuk lebih serius dalam menangani perubahan iklim—sebuah langkah strategis untuk memastikan bahwa bumi tetap bisa diwariskan kepada anak cucu yang lebih baik. | PgriBeltim.Com | *Redaksi | *** |

oke